March 4, 2015

Cita, Asa, Harapan: Dulu, Kini, dan Nanti



"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna.."

Seketika lagu Yogyakarta yang dinyanyikan oleh Kla Project mengalun dalam benak saat kereta Progo yang membawa kami dari Jakarta akhirnya tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Senyum tipis terkembang di sudut bibir sambil berkata dalam hati, ahh Jogja..

Tujuan utama saya datang ke Jogja kali ini adalah untuk melakukan wisata akademik. Lebih tepatnya wisata napak tilas masa menjadi mahasiswa dulu. Tak lain dan tak bukan adalah untuk mengumpulkan sisa asa, cita, mimpi, dan harapan yang dulu pernah terserak sepanjang jalan dari kos-kosan menuju kampus. *lebay ya, tapi ini nyata :)*

Setelah tak lagi menjadi mahasiswa dan harus menjalani hidup sebagai karyawan, tak jarang tuntutan dan tekanan pekerjaan terasa sangat menyesakkan dada. Namun, mengingat kembali perjuangan dulu untuk bisa masuk bahkan lulus dari kampus ini sungguh sangat membantu mengurangi rasa sesak itu. Those good memories still linger on me.

Kenangan itupun dimulai dari masa Ospek. Ospek kala itu sungguh sangat berkesan dan jauh dari kata perpeloncoan apalagi kekerasan. Tak berhenti sampai disitu, seiring berjalannya waktu, kesan itu malah semakin dalam. Ada perasaan senang, takjub, bahkan terharu saat orang-orang pintar dan terkenal yang hanya saya lihat di televisi atau bahkan sering namanya saya dengar disebut dimana-mana, menjadi dosen saya. Ya, saya mereguk langsung ilmu dari orang-orang pintar itu yang dengan senang dan ikhlas berbagi pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki. Betapa beruntungnya saya berada di lingkungan yang bahkan tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Selain itu, saya juga sangat merindukan masa-masa belajar kelompok bersama di perpustakaan, di bawah pohon rindang, bahkan di meja bundar berpayung besar di halaman kampus. Mengerjakan tugas kelompok dan membicarakan tentang masa depan sambil diselingi dengan gelak tawa ringan. Saling bekerja sama dan berkompetisi disaat yang bersamaan adalah hal yang lumrah kala itu. Dimana nilai UTS/UAS yang ditempel di papan pengumuman akademik adalah parameter utamanya. Angin akademis berhembus sangat kencang di kampus ini.

Lain di kampus, lain pula kehidupan di kantor. Kini, saat kompetisi dilaksanakan dengan cara yang tidak sehat bahkan cenderung kotor, mental ini serasa belum siap untuk menghadapinya. Tak jarang, air mata adalah obat paling ampuh sementara untuk menenangkan hati sendiri. Apabila air mata dirasa sudah tak cukup ampuh, resign adalah jawabannya. Namun, orang bilang life must go on. Karena merasa berada di lingkungan yang kurang sesuai dengan hati, bukan berarti harus selalu pergi dan mencari yang sesuai dengan hati. Mengingat kembali perkataan dosen saya yang mengutip teori evolusi Charles Darwin "survival of the fittest" yaitu yang mampu beradaptasi lah yang bertahan.

Tiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam adaptasi, entah itu menjadi lebih baik atau lebih buruk. Satu yang saya imani dan amini, bahwa kerja keras itu tidak pernah sia-sia. Mungkin maanfaatnya belum dirasakan saat ini, tapi selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Dan saya selalu percaya, ada kehendak Tuhan di dalam setiap fase kehidupan yang saya jalani saat ini.

Jadi, saya akan terus bermimpi mewujudkannya menjadi nyata. Karena ada tangan Tuhan yang tak terlihat dan semesta yang selalu mendukung.

"And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it." - Paulo Coelho, The Alchemist